Oleh Warsa Suwarsa
Jagad Ijo--
Melalui media sosial, beberapa teman ada yang bertanya yang bisa jadi menguji: Bagaimana menurut kamu tentang Syi'ah? Atau ada juga yang meminta, coba sekali-kali oleh kamu bahas tentang sekte atau aliran dalam Islam yang saat ini sedang nge-trend diwacanakan dalam berbagai media! Jelas sekali, hal ini bukan kapasitas saya.
Pada dasarnya saya lebih konsern membahas persoalan sosial budaya "kasundaan" saja, meskipun dengan cara yang tidak linear dengan dugaan sebagian besar orang.
Dua hari lalu, saya menulis sebuah makalah mengenai beberapa teori kedatangan Islam ke Nusantara. Teori-teori tentang kedatangan Islam ke Nusantara dipandang sebagai hal yang masih tidak jelas, ketidakjelasan tersebut tampak dari banyaknya teori yang berkembang, mulai dari teori Mekah, Persia, Sufi, Gujarat, Bengal, dan Tiongkok. Masing-masing teori diperkuat dan dibantah oleh argumentasi dari para penganutnya.
Dari beberapa teori kedatangan Islam ke Nusantara, ada kecenderungan lebih rasional terhadap teori Persia dan Sufi, Islam disebarkan dengan cara individual orang per-orang oleh para ulama pengembara (baca: Sufi). Sebelum lahirnya kerajaan-kerajaan Islam dimana Islam disebarkan sudah menyentuh ranah institusional dan secara komunal melalui proses Islamisasi.
Teori Persia adalah sebuah proses masuknya Islam melalui para ulama Persia. Pada abad ke 10-12 Masehi, madzhab Syafi’i berpengaruh cukup signifikan di Persia. Keberagaman pemikiran di Persia saat itu terjadi, interaksi antara Ikhtiyat Syafi’i dengan rasionalisme Syi'ah terpadu. Tradisi akulturasi antara madzhab Syafi’i dengan tradisi Syi'ah bermuara pada penghormatan kepada 'Ahlul Bait'.
Di masa Revolusi Iran awal, sebagian besar umat Islam di dunia menunjukkan antusiasme dan semangat baru. Negara Islam Baru telah lahir. Hanya Iran -pasca keruntuhan Dinasti Ottoman- yang lantang meneriakkan anti Amerika dan Barat saat negara-negara Islam di dunia menjadi patron klien Amerika.
Dari fakta ini, maka jelaslah, kepentingan politik lebih mendominasi pergolakan baik antara Amerika, Sunni, maupun Syi'ah. Pada medio 60-an hingga 80-an, masyarakat Muslim sangat menaruh harap terhadap Iran sebagai kekuatan baru penentang Amerika yang kadung dicap sebagai impersialis dan neokolonialis di dunia Islam. Babak baru dan harapan ini berakhir hingga muncul konflik antara Iran dan Irak. Organisasi negara-negara Islam sama sekali tidak berkutik terhadap lahirnya konflik politik ini.
Penyebaran konflik semakin jelas; dari politik merangsek maju ke ranah keyakinan, madzhab, dan golongan. Sunni dan Syi'ah menghadapi babak baru dalam pertikaian saat negara-negara di Timur Tengah sama sekali mengalami kesulitan melepaskan diri dari konflik berkepanjangan pasca-Perang Teluk dan stigma lahirnya kelompok radikal di kalangan Sunni (Al-Qaeda).
Kekalutan ini melahirkan satu konklusi, negara-negara di Timur Tengah memang mudah diadudombakan baik dengan persoalan politik juga dengan hal-hal keyakinan.
Indonesia jelas sekali berbeda dengan negara-negara di Timur Tengah. Sejak abad ke 10 Masehi, keyakinan dan sistem politik apa pun bisa tumbuh dengan subur di negara ini, dibingkai oleh semangat saling menghargai. Multikultural atau keheterogenan ini tidak bisa diusik-usik hanya dengan melemparkan wacana keyakinan. Hanya melalui persoalan politislah bangsa ini dengan sangat mudah dipengaruhi, ini jelas sekali merupakan sebuah anomali.
Keirian muncul hampir dari negara-negara di dunia ini saat menyaksikan bagaimana bisa sebuah negara dengan keberagaman dan kebhinekaan mampu bertahan tanpa konflik-konflik besar? Test case dan berbagai varian uji coba untuk menyulut konflik di negara ini telah dilakukan oleh kelompok yang memiliki kepentingan. Sebagian telah berhasil dengan menggunakan topeng konflik keagamaan, sebuah wilayah sensitif.
Hipotesis awal terhadap maraknya permusuhan, wacana, polemik, perang pemikiran dalam media dan kehidupan nyata saat ini adalah bukti keberhasilan dari para penggagas perang (Timur Tengah dan Negara-negara Kapitalis blok Barat) dalam mengurai konflik ke berbagai penjuru dunia. Sasaran utama adalah negara adidaya yang memiliki sumber daya alam melimpah, memiliki ketahanan budaya, dan mempunyai falsafah hidup tenang, yaitu Indonesia!
Maka, saya berpesan kepada siapa pun: dalam hal keyakinan, jangan mencari-cari perbedaannya, namun luruskan persamaannya bahwa kita adalah manusia yang masih bertuhan memegang teguh prinsip kemanusiaan. Sebab, mencari persamaan dalam perbedaan sampai kapan pun akan mengalami kebuntuan. Kehadiran Hindu dan Budha telah lebih dahulu dari agama-agama dari Timur Tengah, saat ini Islam menjadi agama mayoritas yang dianut dengan rentang waktu 10 abad sejak masuknya Islam ke Nusantara. Tidak menutup kemungkinan, di 10 abad mendatang agama lain yang akan menjadi mayoritas di negeri ini. Haruskah kita khawatir? Tidak perlu, sebab sejarah adalah persoalan politik melulu. Sementara ranah keyakinan adalah urusan manusia dengan Tuhan.
Warsa Suwarsa, penulis lepas, tinggal di Sukabumi, Jawa Barat.
___________
NuOnline