Tulisan Baru

Sunday, January 3, 2016

KH Bisri Musthofa: Singa Podium Pejuang Kemerdekaan


Saat ini, sosok Kiai yang setara dengan Kiai Bisri Musthofa telah jarang ditemui. Kiai Bisri Musthofa merupakan sosok yang lengkap: Kiai, Budayawan, Muballigh, Politisi, Orator, dan Muallif (penulis). Sungguh, sosok Kiai yang memiliki kecerdasan lengkap. Ayahanda Kiai Mustofa Bisri dan Kiai Cholil Bisri ini menjadi referensi bagi santri dan tokoh negara. Tak heran, Kiai Sahal Mahfudh menyebut Kiai Bisri sebagai sosok yang memukau pada zamannya.

KH Bisri Musthofa lahir di Rembang, pada tahun 1914. Beliau putra pasangan KH. Zainal Musthafa dan Siti Khadijah, terlahir dengan nama Mashadi yang kemudian diganti dengan sebutan Bisri. Pada tahun 1923, KH. Zainal Musthofa menunaikan ibadah haji bersama istinya, Nyai Siti Khadijah, dengan membawa anak-anak mereka yang masih kecil. Setelah menunaikan ibadah haji, di pelabuhan Jeddah, Kiai Zainal jatuh sakit hingga wafat. Kiai Zainal dimakamkan di Jeddah, sedangkan istri dan putra-putranya kembali ke Indonesia.
Ketika sampai di Indonesia, Bisri bersama adik-adiknya yang masih belia, diasuh oleh kakak tirinya, KH. Zuhdi (ayah Prof. Drs. Masfu' Zuhdi), serta dibantu oleh Mukhtar (suami Hj. Maskanah). Bisri kecil menempuh pendidikan di Sekolah Ongko Loro (Sekolah Rakyat atau Sekolah Dasar untuk Bumi Putera), hingga selesai. Bisri kecil mengaji di pesantren Kasingan, Rembang di bawah bimbingan Kiai Kholil. Bisri juga mengaji kepada Syaikh Ma'shum Lasem, yang menjadi ulama besar di kawasan pesisir utara Jawa. Kiai Ma'shum merupakan sahabat Kiai Hasyim Asy'arie, juga terlibat dalam pendirian Nahdlatul Ulama. Bisri muda juga tabarrukan kepada Kiai Dimyati Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Dengan demikian, sanad keilmuan Kiai Bisri jelas tersambung dengan ulama-ulama di Jawa, yang menjadi jaringan ulama Nusantara. Kiai Bisri suntuk mengaji kepada Kiai Kholil Haroen, Kiai Ma'shum Lasem dan beberapa ulama lain.

Santri Kelana

Sebagai santri, Bisri muda memang dikenal gigih dan santun. Kecerdasan dan penguasaaan atas kitab-kitab kuning, serta sikap moral tawadhu' terhadap Kiai, menjadikan Bisri dekat dengan Kiainya, Kiai Kholil Haroen. Kemudian, Kiai Kholil menjodohkan santrinya ini dengan putrinya, Marfuah binti Kholil. Pernikahan pasangan santri ini, berlangsung pada 1935, dengan dikarunai beberapa putra-putri: Kholil Bisri, Musthofa Bisri, Adib Bisri, Audah, Najikah, Labib, Nihayah dan Atikah.

Setelah menikah dengan putri Kiai Kholil, Bisri muda berniat melanjutkan petualangan keilmuan (rihlah ilmiah). Semangat belajar sebagai santri kelana memuncak pada diri Bisri muda. Akhirnya, jejak langkahnya untuk mengaji mendapat kesempatan, dengan melanjutkan tabarrukan kepada Kiai Kamil, Karang Geneng Rembang. Pada 1936, Kiai Bisri menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan mengaji kepada ulama-ulama Hijaz. Di antaranya guru-gurunya: Syeikh Hamdan al-Maghribi, Syeikh Alwi al-Maliki, Sayyid Amin, Syeikh Hasan Massyat dan Sayyid Alwi. Selain itu, Kiai Bisri juga mengaji kepada ulama-ulam Hijaz asal Nusantara, yakni KH. Abdul Muhaimin (menantu KH. Hasyim Asy'arie) dan KH. Bakir (Yogyakarta).

Setelah setahun belajar kepada ulama Hijaz, Kiai Bisri pulang ke tanah air pada 1937. Kiai Bisri kemudian membantu mertuanya, KH. Kholil Kasingan mengasuh pesantren di Rembang. Setelah itu, Kiai Bisri bersama keluarga memutuskan untuk menetap di Leteh, dengan mendidik santri dan mendirikan pesantren Raudlatut Thalibin.

Dalam mengasuh santri, Kiai Bisri sangat gigih dalam memberikan perhatian dan penanaman nilai-nilai kepada anak didik, dengan mengenalkan ibadah sedini mungkin, budi pekerti, tata krama dan tradisi-tradisi pesantren yang menjadi benteng perjuangan para kiai. Kiai Bisri menganggap bahwa hubungan antara kiai dan santri harus dekat, sebagaimana hubungan antara Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad.

Kiai Bisri berpandangan bahwa syariat Islam dapat terlakasana di Indonesia, namun  tanpa harus menggunakan formalisme agama dalam bentuk negara Islam (Darul Islam). Kiai Bisri mendukung konsep Pancasila sebagai wawasan Nusantara, serta pilar NKRI. Beliau mendorong komunikasi antara Ulama dan Zu'ama, yang bertujuan mencetak kader-kader handal di Nahdlatul Ulama. Pada konteks ini, Kiai Bisri berpandangan bahwa, perjuangan bisa dilakukan dengan dua cara: yakni jalur politik dan jalur dakwah/pendidikan (Zainal Huda, 2005: 108).

Perjuangan Keindonesiaan

Menurut Kiai Sahal Mahfudh (2005), Kiai Bisri Musthofa memang "sosok yang luar biasa pada zamannya (faridu ashrihi). Bukan hanya keilmuannya yang luas, namun juga daya tariknya, daya simpatik dan daya pikat yang memukau siapa saja yang berhadapa dengan beliau. Apalagi, ketika beliau sedang berpidato di depan khalayak ramai, dapat dipastikan para pendengar terpukau dan terpingkal-pingkal karena gaya bicara, aksen suara dan lelucon-leluconnnya yang segar.

Kiai Bisri Musthofa juga dikenal sebagai penyair, yang sering menggubah syair dari bahasa Arab ke Bahasa Jawa, yang mudah dipahami publik. Kiai Bisri, di antaranya menggubah syair Ngudi Susilo dan Tombo Ati. Syair Ngudi Susilo merupakan syair yang berisikan pesan-pesan moral yang ditujukan bagi anak-anak tentang cara menghormati dan berbakti kepada orang tua (birrul walidain). Sedangkan, syair Tombo Ati merupakan syair terjemahan dari kata-kata mutiara Sayyidina Ali bin Abi Thalib (Zinul Huda, 2005: 80). Tidak banyak yang mengetahui bahwa Tombo Ati dalam versi Jawa merupakan gubahan Kiai Bisri. Syair ini, saat ini banyak dilantunkan dalam grup shalawat dan musik, di antaranya sering dinyanyikan Kiai Kanjeng dan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib).

Kiai Bisri dikenal sebagai orator yang kondang, beliau memberikan ceramah di berbagai daerah. Kemampuan komunikasi yang handal di atas panggung, menjadikan Kiai Bisri disebut sebagai 'Singa Podium'. Dalam catatan Saifuddin Zuhri (1983: 27), Kiai Bisri mampu mengutarakan hal-hal yang sebenarnya sulit menjadi begitu gamblang, mudah dicerna baik orang-orang perkotaan maupun warga desa yang bermukim di kampung-kampung. Dalam orasi Kiai Bisri, hal-hal yang berat menjadi begitu ringan, sesuatu yang membosankan menjadi mengasyikkan, hal sepele menjadi amat penting. Selain itu, kritik Kiai Bisri sangat tajam, dengan karakter khas berupa gojlokan dan guyonan ala pesantren. Kritikan spontan dan segar, menjadi strategi komunikasi yang tepat, sehingga pihak yang dikritik tidak merasa tersinggung atau marah. Inilah kelebihan Kiai Bisri sebagai muballigh, orator dan kiai yang paham politik.

Pada masa perjuangan kemerdekaan, Kiai Bisri juga bergerak untuk melawan pasukan Kolonial. Bersama para kiai, Kiai Bisri terlibat langsung dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Ketika itu, Laskar Santri menjadi bagian penting dalam perjuangan bangsa. Barisan santri yang tergabung dalam Laskar Hizbullah dan Sabilillah telah dibentuk dibeberapa daerah. Laskah Hizbullah dikomando oleh Kiai Zainul Arifin, sedangkan Laskar Sabilillah dipimpin Kiai Masjkur Malang. Pada 22 Oktober 1945, Kiai Hasyim Asy'arie menyerukan Resolusi Jihad, sebagai panggilan perjuangan para santri, pemuda dan warga untuk berperang melawan penjajah. Perjuangan ini menjadi bagian dari keimanan, demi tegaknya kemaslahatan bangsa Indonesia.

Resolusi Jihad yang digelorakan Kiai Hasyim Asy'arie mengandung tiga unsur penting: Pertama, tiap muslim—tua, muda, dan miskin sekalipun—wajib memerangi orang kafir yang merintangi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekan layak disebut Syuhada. Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati. Di samping itu, haram hukumnya mundur ketika berhadapan dengan penjajah dalam radius 94 km (jarak diperbolehkannya qashar sholat). Di luar radius itu, dianggap fardhu kifayah (kewajiban kolektif). Tentu saja, hal ini menjadi pelecut semangat  para santri untuk berjuang menegakkan kemerdekaan Indonesia.

Untuk mendukung perjuangan para santri, Kiai Hasyim Asy'arie mengundang beberapa kiai untuk bergabung. Laskar santri dalam barisan Hizbullah dan Sabilillah perlu didukung oleh para kiai. Pada waktu itu, Kiai Bisri Musthofa turun langsung ke medan pertempuran, bersama para kiai lain, di antaranya Kiai Abbas Buntet  dan Kiai Amin Babakan Cirebon. Bahkan, rombongan Kiai Abbas Buntet singgah terlebih dulu di Rembang, untuk kemudian bersama Kiai Bisri melanjutkan perjalanan ke Surabaya.

Dalam bidang politik, Kiai Bisri pernah menjadi anggota konstituante. Perjuangannya dapat dilacak ketika beliau berkecimpung di parlemen maupun di luar struktur negara. Kiai Bisri juga dikenal sebagai sosok yang mendukung ide Soekarno, yakni konsep Nasakom (Nasionalis, Sosialis, Komunis). Kiai Bisri memberi catatan, bahwa ketika pihak yang berbeda ideologi, harus bersaing secara sehat dalam koridor keindonesiaan, dengan tetap mempertahankan NKRI. Akan tetapi, Kiai Bisri juga menjadi pengkritik paling tajam ketika Nasakom menjadi pahara politik. Diplomasi politik Kiai Bisri tidak hanya di ranah lokal, namun juga berpengaruh pada kebijakan politik nasional.

Jurus diplomasi politik Kiai Bisri layak dicontoh. Beliau tidak memisahkan politik dan agama, sehingga dalam menghadapi lawan-lawan politiknya, beliau tetap menggunakan etika dan fiqh sebagai referensi bersikap. Karena itu, tidak pernah dijumpai konflik antara Kiai Bisri dengan lawan-lawan politiknya. Aktifis NU pada zamannya, sangat menghormati Kiai Bisri, semisal KH. Idham Cholid, KH. Akhmad Syaichu, Subhan ZE dan beberapa kiai lain.

Kiai Bisri termasuk penulis (muallif) yang produktif. Karya-karyanya melimpah, dengan warna yang beragam. Sebagian besar, karyanya ditulis untuk memberi pemahaman kepada masyarakat awam. Karya-karya Kiai Bisri Musthafa meliputi berbagai macam ilmu tauhid, fikih, Sejarah Kebudayaan Islam, ilmu-ilmu kebahasaan Arab (nahwu, sharaf dan ilmu alat lainnya), hadits, akhlak, dan lain sebagainya. Salah satu karya fenomenal adalah Tafsir al-Ibriz, yang ditulis dalam Jawa Pegon. Karya beliau lebih dari 30 judul, di antaranya: Terjemah Bulughul Maram, Terjemah Lathaiful Isyarah, al-ikhsar fi ilm at-tafsir, Munyah adh-Dham'an (Nuzul al-Qur'an), Terjemah al-Faraid al-Bahiyah, Terjemah as-Sulam al-Munauraq, (Indonesia oleh KH. Khalil Bisri), Tanwir ad-Dunyam, Sanif as-Shalah, Terjemah Aqidah al-Awam, Terjemah Durar al-Bayan, Ausath al-Masalik (al-Khulashah), Syarh al-Ajrumiyah, Syarh ash-Shaaf al-Imrithi, Rafiq al-Hujjaj, Manasik Haji, at-Ta'liqah al-Mufidah Li al-Qasidah al-Munfarijah, Islam dan Shalat, Washaya al-Aba li al-Abna', Al-Mujahadah wa ar-Riyadhah, Tarikh al-Auliya', Al-Haqibah (kumpulan doa) jilid I-II, Syiir Rajabiyah, Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah, Syi'ir Budi Pekerti, Al-Asma wa al-Aurad, Syi'ir Pemilu, Zad az-Zu'ama wa Dzakirat al-Khutaba', Pedoman Pidato, Primbon, Mudzakirah Juyub Al-Hujjaj dan lain sebagainya.

Kiai Bisri Musthofa wafat pada usia 63 tahun, pada 16 Februari 1977. Ketika itu, warga Indonesia sedang menyongsong pemilu 1977 pada masa Orde Baru. Santri Nusantara membutuhkan sosok-sosok dengan kecerdasan lengkap dalam diri Kiai Bisri Musthofa. Alfaatihah.


Munawir Aziz, Wakil Sekretaris LTN PBNU, Editor in-Chief islami.co dan Dewan Redaksi Penerbit Mizan.

________________________
Sumber:
Akhmad Zainul Huda, Mutiara dari Pesantren: Perjalanan Khidmah KH. Bisri Musthofa. Yogyakarta: LKIS. 2005.

Saifuddin Zuhri. Berangkat dari Pesantren. Jakarta, Gunung Agung, 1987.

Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad : Garda Depan Menegakkan Indonesia, 1945-1949, Jakarta: Pustaka Compass, 2014.



Dibutuhkan kontributor untuk buletin Jagad Ijo, Anda berminat? hubungi Budi Hermawan, No. HP : 081 231 809 41