Ponorogo, Jagad Ijo
- Masih terngiang di ingatan kita, itulah istilah yang diperbincangkan dalam
seminar bertema "NKRI, Aswaja, dan Masa Depan Islam Nusantara" yang
digelar PWNU Jawa Timur di Surabaya (22/2/2011). Sepanjang pengamatan Redaksi,
istilah ini baru kala itu dibincangkan di internal NU. Hari ini konsep ini
sangat relevan untuk didengungkan kembali, apalagi PBNU telah menetapkannya
menjadi tema Muktamar NU ke-33 di Jombang Agustus mendatang.
Agaknya,
istilah Islam Nusantara yang dilontarkan NU itu tidak terlepas dari fenomena
ideologis dengan hadirnya kelompok "baru" Islam di Jatim seperti
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), FPI, Ikatan Ahlil Bait Indonesia (IJABI),
Ahmadiyah, dan sebagainya. Belakangan, fenomena ISIS sangat relevan dengan
konteks ini.
Dalam
pengantar seminar, Rais Syuriah PBNU KH Hasyim Muzadi selaku pembicara utama
menegaskan bahwa tiga sumbangan besar NU yang telah diakui dunia adalah menata
hubungan negara dan agama, mabadi khoiro umma (umat yang berkarakter baik), dan
penguatan sipil.
"NU
membawa Islam dalam konsep seperti yang didakwahkan para Walisongo di kawasan
Nusantara hingga konsep Islam ala NU itu kini dikenal dunia di seantero
dunia," kata Presiden Agama-agama Dunia itu.
Dalam
menata hubungan negara dan agama, NU mementingkan agama dalam konteks
nilai-nilai, sehingga Indonesia bukan negara sekuler dan bukan negara agama,
tapi agama dan nilai-nilai agama pun berkembang dengan baik.
"Bahkan,
nilai-nilai agama itu akhirnya mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara,
sehingga agama tidak sekedar ritual, tapi ada dalam kehidupan masyarakat
sebagai Rahmatan Lil Alamin," katanya.
Oleh
karena itu, kata pengasuh Pesantren Mahasiswa Al Hikam di Malang dan Depok itu,
para pemimpin Indonesia yang ingin mempertahankan NKRI.
Rahmatan Lil Alamin
Pernyataan Hasyim Muzadi itu "diamini" Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical) dan Ketua Umum FPI Habib Rizieq, bahkan keduanya mengaku merasa aman dengan NU.
"Saya
merasa tenang dan nyaman berada di NU, karena itu saya setuju dengan pernyataan
Pak Hasyim Muzadi (Islam Rahmatan Lil Alamin yang mengedepankan nilai-nilai),
bahkan saya berharap NU berkembang di seluruh Indonesia seperti di Jatim,"
kata Ical.
Di
hadapan 500-an pengurus NU se-Jatim, mantan Menko Kesra itu mengaku gundah
menyikapi kehidupan berbangsa yang penuh intrik dan fitnah serta kekerasan.
"Intrik,
fitnah, dan kekerasan membuat hidup kita tidak enak, karena itu saya berharap
NU menjadi penjaga bangsa, garda bangsa yang mengedepankan nilai-nilai agama
sehingga NU menjadi perekat kemajemukan," katanya.
Hal
itu juga diakui Ketua Umum FPI Habib Rizieq. "NU adalah `rumah besar
Aswaja` di dunia dan pimpinan NU adalah orang tua sendiri. Kami sangat
mencintai NU, karena NU itu rumah besar kami dan pimpinannya adalah orang tua
kami," katanya.
Oleh
karena itu, ia mengajak NU dan para ulama untuk menjaga Indonesia dari
intervensi pihak luar yang memasukkan aliran sesat dan pikiran liberal.
"Islam
sampai sekarang tetap damai dan toleran. Istilah bahwa Islam radikal, kekerasan
agama (Islam), teroris (Islam), dan fundamentalis (Islam) itu hanya
diskriminasi yang sengaja menyudutkan Islam, sebab kalau pemberontak di
Filipina selatan dan Thailand itu non-Islam atau Israel mengebom tidak disebut
teroris," katanya.
Pandangan
agak berbeda datang dari Prof Ali Haidar. "Islam politik tidak mungkin
berkembang bagus di Indonesia seperti di Timur Tengah, karena Islam berkembang
di Indonesia melalui budaya, sehingga Islam politik tidak mengakar di Indonesia,"
tandasnya.
Namun,
Guru Besar Universitas Paramadina Jakartam, Prof Yudi Latief, melihat NU
memiliki keunggulan. "Islam secara politik di Indonesia memang kurang
bernasib bagus, tapi Islam secara kekuatan sipil cukup bagus. Buktinya, aturan
tentang zakat, pernikahan, perbankan, dan sebagainya berkembang tanpa
masalah," katanya.
Agaknya,
Islam Nusantara yang dilontarkan NU adalah Islam yang pernah dikembangkan para
Walisongo yakni bukan Islam politik seperti konsep "negara Islam",
namun mengembangkan nilai-nilai Islam untuk mewujudkan "masyarakat
Islam" sehingga tidak terjadi benturan budaya, karena Islam justru menjadi
"Rahmatan Lil Alamin" (id/antaranews)