http://majalahgontor.net/wp-content/uploads/2014/09/toleransi.jpg |
Sebagai
Nabi, sikap toleransi yang beliau tunjukkan ialah memaafkan dan bahkan
mendoakan kaum yang telah berbuat jahat kepada beliau ketika berdakwah. Setelah
wafatnya paman beliau, Abu Thalib, Nabi SAW berkunjung ke perkampungan Thaif.
Beliau menemui tiga orang dari pemuka suku kaum Tsaqif, yaitu Abdi Yalel, Khubaib,
dan Mas'ud. Nabi mengajak mereka untuk
melindungi para sahabatnya agar tidak diganggu oleh suku Quraisy. Namun,
kenyataan pedih yang dialami beliau. Nabi diusir dan dilempari batu oleh kaum
Tsaqif. Akibatnya, darah pun mengalir dari tubuh beliau.
Menyaksikan
kejadian itu, Malaikat Jibril memohon izin untuk menghancurkan kaum Tsaqif
karena telah menyiksa Nabi. Namun, apa jawaban Nabi? “Jangan! Jangan! Aku
berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang akan
menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun.” Beliau pun berdoa
untuk kaum Tsaqif. "Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku, karena
mereka belum mengetahui (kebenaran).” (HR Baihaqi).
Pada
lain kesempatan, sebagai pemimpin negara, Rasulullah SAW juga menunjukkan sikap
tolerannya. Ketika terjadi keributan antara kaum Muslim dan kaum Quraisy serta
Yahudi, Rasul menawarkan solusi dengan membuat Piagam Madinah untuk mencari
kedamaian dan ketenteraman kehidupan di masyarakat. Seperti yang terdapat pada
pasal 16 yang tertulis, “Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak
atas pertolongan dan santunan, sepanjang (kaum mukminin) tidak terzalimi dan
ditentang.”
Selain
Piagam Madinah, pada peristiwa penaklukkan Kota Makkah (Fathu Makkah),
Rasulullah SAW juga menunjukkan toleransi yang sangat indah. Penduduk Makkah
yang selama ini memusuhi Rasulullah, ketakutan ketika umat Islam berhasil
menaklukkan Kota Makkah. Sebab, sebelum penaklukan itu, umat Islam sering
ditindas oleh kaum kafir Quraisy Makkah. Tak jarang, mereka juga
menghalang-halangi dakwah Rasul, bahkan hingga bermaksud membunuhnya.
Namun,
setelah penaklukkan Kota Makkah itu, Rasul memaafkan sikap mereka. Tidak ada
balas dendam. Kekuasaan yang dimilikinya, tak menjadikan diri Rasul menjadi
sombong atau bertindak sewenang-wenang. Ketika penduduk Quraisy menanti
keputusan beliau, Rasul bersabda, “Saya hanya katakan kepada kalian sebagaimana
ucapan Nabi Yusuf kepada para saudaranya, 'Tiada celaan atas kalian pada hari
ini'. Pergilah! Kalian semua bebas.” (HR Baihaqi)
Bukti
nyata lainnya yang tercatat dalam sejarah Islam adalah keterangan yang
diriwayatkan oleh Bukhari bin Jabir bin Abdullah. Ketika iring-irinagn jenazah
melewati Nabi saw., beliau bangkit berdiri . Ada yang memberi tahu Nabi bahwa
jenazah itu orang Yahudi. Lalu, Nabi menjawab, ”Bukankah dia juga manusia.”
Sikap
toleransi juga diungkapkan dengan indah dalam al-Qur’an, surah al-Baqarah ayat
285 ”Rasul (Muhammad) beriman kepada apa
yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an) dari Tuhannya, demikian pula orang-orang
yang beriman. Semua beriman kepada Allah , malikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata), Kami tidak
membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya. ’Dan mereka berkata, ’Kami
dengar dan kami taat.Ampunilah kami ya Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami)
kembali.”
Nash
al-Qur’an tersebut jelas-jelas membuktikan bahwa agama Islam menyerukan kepada
umatnya agar beriman kepada semua nabi tanpa harus membeda-bedakan nabi yang
satu dengan nabi yang lain sebab semua nabi mengemban dakwah, risalah, dan
tujuan yang sama. Logikanya para nabi pembawa risalah sebelum Islam harus di
imani, maka ajaran dan penganutnya harus pula di hormati.
Selain
fakta serta bukti toleransi Islam yang digambarkan dalam kitab suci maupun tarikh
Islam. Tingkat toleransi kaum muslim zaman rasulullah juga diakui oleh parat
orientalis yang jujur. Sebut saja Gustav Lebone seorang orientalis yang
mengakui bahwa tingkat toleransi Muhammad mencapai target yang mulia. Hal
senada juga disampaiakn Thomas Arnold seorang orientalis asal Inggris dalam
bukunya ad-Da’watul ila al-Islam bahwa ”Kami tidak pernah mendengar satu ayat
Al-Qur’an yang berusaha memaksa suatu kelompok nonmuslim agar menerima ajaran
Islam; tidak ada satu ayat pun yang memerintahkan untuk membumihanguskan agama
Kristen.” (hal 113). Demikianlah toleransi Islam diakui sehingga toleransi itu
menjadi bagian ajaran Islam.
Pada
akhirnya ulasan ini adalah sebuah upaya langkah awal dalam mengkaji masalah
toleransi dalam agama Islam. Buku ini tersusun atas 13 bab yang masing-masing
memiliki keterkaitan antara bab yang satu dengan bab lainnya. Dan memang buku
ini sangat layak dibaca oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan umat Islam
pada khususnya agar sebuah kesadaran baru muncul, kesadaran untuk bertoleransi,
berlaku adil, sikap kasih sayang, rasa persaudaran sehingga tercipta kerukunan
yang abadi di negeri tercinta ini. Insya Allah. (id/diolah dari berbagai sumber)