Oleh Muhammad Sulton Fatoni*)
Jagad Ijo--
Akhir-akhir ini, wacana ‘Islam Nusantara’ menyita perhatian masyarakat Islam di Indonesia. Apa relasi Islam Nusantara dengan Nahdlatul Ulama sehingga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memosisikannya sebagai narasi besar Muktamar ke-33 NU di Jombang pada 1-6 Agustus 2015 nanti? Saya ingin mengemukakan beberapa fakta.
Pertama, konsentrasi PBNU lima tahun terakhir untuk menghindari politik praktis memunculkan fenomena cukup banyak kiai dan anak muda NU aktif dan menggerakkan lembaga unit kerja PBNU. Maka, lahirlah karya besar sumbangsih warga NU, di antaranya kitab Ahkamul Fuqaha (2011) yang berisikan putusan hukum NU 1926-2010, Thariqatul Hushul ‘ala Ghayatil Wushul (2012) karya KH A Sahal Mahfudh, kajian bidang ushul fikih Fathul Mujib al-Qarib (2014) karya KH Afifuddin Muhajir dalam bidang fikih.
Sedangkan dalam bahasa Indonesia, di antaranya Enskilopedia Nahdlatul Ulama (2013) tentang khazanah keislaman nusantara; Atlas Walisongo (2012) karya Agus Sunyoto yang memuat fakta tentang wali-wali di Indonesia.
Studi keislaman masyarakat nahdliyin ini kelanjutan dari tradisi sebelumnya, seperti oleh KH Ahmad Chatib Sambas (1803-1875M), KH Nawawi Banten (1813-1897 M), dan KH Mahfudz Tremas (1868-1920M). Ketiga kiai ini lahir di Indonesia, tapi menetap hingga wafat di Makkah.
Menetap di Makkah adalah upaya menyambung mata rantai keilmuan hingga kepada Rasulullah SAW. Misalnya, Kiai Nawawi Banten berguru kepada Syekh as-Syarwani, murid Syekh al-Baijuri yang berguru kepada Syekh as-Syarqawi, dan seterusnya hingga kepada Rasulullah SAW.
Studi keislaman ini menjadikan peran NU tak hanya di Indonesia, tapi juga bagi perkembangan keilmuan Islam di penjuru dunia. Maka, terjadi—meminjam istilah Erikson—’integrasi dunia luar’ dan ‘dunia dalam’ (Thomas H Erikson, 1989).
Kedua, sepanjang 2010-2015 PBNU telah menyaksikan kondisi karut-marut sosial politik masyarakat Islam dunia. Contohnya, seminggu setelah pulang dari lawatan PBNU ke Libya (2011), Muammar Qadafi dijatuhkan dan hingga kini umat Islam Libya masih saling serang. Beberapa hari setelah PBNU menggelar pertemuan dengan tokoh ragam suku masyarakat Afghanistan sebagai upaya perdamaian (2011), peserta pertemuan, Burhanuddin Rabbani, wafat karena serangan bom.
Ketiga, jargon ‘kembali ke pesantren’ yang disuarakan sejak Muktamar ke-32 NU di Makassar diikuti langkah teknis dan strategis. Di antaranya, konsentrasi PBNU (2010-2015) untuk mengarahkan program dan kegiatan bagi penguatan masyarakat pesantren.
Penguatan keindonesiaan melalui Apel Kesetiaan pada NKRI (2010) di Gelora Bung Karno; dilanjutkan Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Cirebon (2012) bertema ‘Kembali ke Khittah Indonesia 1945′; dan Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2014 di Jakarta bertema ‘Konsolidasi NU untuk memperkokoh Kedaulatan RI’. Pada momentum ini lah untuk kali pertama NU memutuskan tak menyetujui khilafah agenda politik Hizbut Tahrir Indonesia.
Hadratussyeikh KH Hasyim Asyari pernah menggambarkan keislaman negeri Jawa pada awal abad ke-20 dalam kitabnya, Risalatu Ahlissunnah wal Jamaah, sebagai masyarakat yang memiliki pandangan dan mazhab serta referensi dan kecenderungan yang sama. Yaitu, pengikut mazhab Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i, alur pikir Imam Abu Hasan al-‘Asy’ari, dan corak tasawuf konsep Imam al-Ghazali dan Imam Abi al-Hasan al-Syadzili (Hasyim Asyari, 1912).
Sebutan ‘Jawa’ pada abad ke-17-19 cukup populer di kalangan ulama Timur Tengah dan Afrika. Implementasi dari referensi dan sumber yang sama melahirkan tradisi dan norma, seperti mencintai keturunan Rasulullah, para wali dan orang saleh; serta mengharap berkah pada mereka; baik yang masih hidup maupun wafat. Termasuk menghormati dan mencintai para habib, sayyid, atau sebutan lain bagi keturunan Rasulullah SAW.
KH Hasyim Asyari juga menunjukkan tradisi keislaman negeri Jawa yang mentradisikan ibadah ziarah kubur. Menempuh perjalan dari yang terdekat hingga ratusan kilometer, bahkan ribuan kilometer melewati sekat negara hanya untuk berziarah ke makam para ulama, sahabat, puncaknya ke makam Rasulullah SAW.
Termasuk yang ditunjukkan KH Hasyim Asyari adalah mentradisinya ibadah men-talqin mayit; sedekah untuk mayit; meyakini adanya syafaat (pertolongan); bermanfaatnya doa, tawasul, dan lainnya. Dinamika keislaman di Indonesia dan kondisi Muslim dunia terkini yang mendorong PBNU mengangkat tema ‘Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia’.
Maka, Islam Nusantara itu bukan “agama baru”. Islam Nusantara juga bukan “aliran baru”. Islam Nusantara adalah wajah keislaman yang ada di Asia Tenggara, termasuk Indonesia di dalamnya. Ajaran Islam yang terimplementasi di tengah masyarakat yang mental dan karakternya dipengaruhi struktur wilayah kepulauan.
Praktik keislaman ini tecermin dalam perilaku sosial budaya Muslim Indonesia yang moderat (tawassuth), menjaga keseimbangan (tawazun), dan toleran (tasamuh). Ketiga sikap ini pijakan masyarakat pesantren untuk mencari solusi problem sosial akibat liberalisme, kapitalisme, sosialisme, termasuk radikalisme agama-agama (Said Aqil Siroj, 1999).
Wajah Islam Nusantara ini lah yang perlu dipromosikan Muslim Indonesia ke warga dunia. Barat perlu tahu bahwa wajah Islam tidak dimonopoli masyarakat Islam di Timur Tengah dan Afrika. Grand Syaikh al-Azhar melalui delegasinya yang ke PBNU, Dr Mun’im Fuad, menegaskan dukungannya pada gerakan moderasi NU yang terus mengglobal (Fuad, 2015).
Gerakan promosi Islam Nusantara ini berbasiskan nilai dan norma keislaman yang tumbuh kembang di gugusan kepulauan nusantara. Maka, gerakan promosi Islam Nusantara tak dibangun dengan basis finansial sebagaimana yang lazim dilakukan lembaga dan aktor politik yang memburu kekuasaan.
Meskipun identitas suatu kelompok mempunyai spesifikasi berbeda dengan kelompok lain (Hogg AM, 2003), bukan berarti identitas Muslim Indonesia tak bisa diterima masyarakat Eropa dan Amerika. Memengaruhi dalam konteks ini bukan memaksakan diri agar terjadi peleburan, tapi melakukan proses penyadaran pentingnya wajah Islam yang lain di luar Muslim Timur Tengah.
Suatu ketika dalam rapat di PBNU, KH Mustofa Bisri mengatakan, aktivitasnya yang berinteraksi dengan masyarakat Muslim di penjuru dunia menghasilkan kesimpulan, identitas Muslim Indonesia bukan identitas yang berdiri sendiri. Ia mempunyai kemiripan dengan masyarakat Muslim di belahan dunia lain. Jika ada kemiripan, mengapa dampak sosial budaya dan politiknya berbeda?
Maka, dalam konteks ini yang perlu diwaspadai adalah konsekuensi dari proses pengenalan Islam Nusantara ke tataran dunia. Nilai-nilai universal yang secara praksis telah menjadi norma kelompok tertentu bisa menjadi masalah dan bisa juga tidak bagi kelompok lainnya. Di sinilah perlunya identifikasi atas konsekuensi yang ada.
Identifikasi dini atas konsekuensi buruk dari proses penyadaran pentingnya Islam Nusantara tentu positif bagi keberhasilan pada masa depan. Masyarakat pasti mengalami konsekuensi (Giddens, 2004). Namun, kehati-hatian menghadapi ‘faktor lain’ akan menghindarkan masyarakat dari konsekuensi buruk.
Ikhtiar menghadirkan Islam Nusantara di tengah masyarakat dunia pada prinsipnya upaya mewujudkan tata dunia yang kondusif bagi persemaian keadilan, perlindungan hak, perbaikan kualitas hidup, dan kemakmuran masyarakat (KH Hasyim Asyari, 1928).
*) Muhammad Sulton Fatoni, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Dosen Sosiologi STAINU Jakarta
========
Fatayat NU