Jagad Ijo —
Akhirnya setelah sekian lama
mendambakan dan tak kunjung mempunyai anak, permohonan Nabi Ibrahim agar
dianugerahi anak dikabulkan oleh Tuhannya. Allah menganugerahi seorang anak
yang sabar. Ketika di anak sudah cukup dewasa untuk membantu ayahnya bekerja, tiba-tiba
sang ayah memberitahukan bahwa ada isyarat Tuhan untuk menyembelih si anak.
“Bagaimana pendapatmu?” kata sang ayah. Dengan tenang, si anak menjawab,
“Ayahku, laksanakan saja apa yang diperintahkan kepada ayah. Insyaallah ayah
akan mendapatkan anakmu ini tabah.”
Ketika bapak-bapak itu bertekad
bulat berserah diri sepenuhnya untuk melaksanakan perintah Allah dan Nabi
Ibrahim telah merebahkan anak kesayangannya itu di atas pelipisnya, ketika itu
pula keduanya membuktikan kepatuhan dan kebaktian mereka. Dan, Allah pun
mengganti si anak dengan kurban sembelihan berupa kambing yang besar.
Meskipun ritual kurban (dengan
“u”) konon sudah dilakukan sejak putra-putra Nabi Adam, Habil dan Qabil,
peristiwa yang dituturkan dalam kitab suci Al Qur’an itulah yang menjadi dasar
persyaratan kurban setiap Idul Adha (Hari Raya Kurban).
Nabi Ibrahim rela mengorbankan
putranya dan putranya ikhlas dijadikan kurban demi Tuhan mereka. Bagi Nabi
Ibrahim dan putranya, Tuhan adalah nomor satu. Allah adalah segalanya. Siapa
pun dan apa pun tidak ada artinya dihadapan-Nya. Demi dan untuk-Nya, apa pun
ikhlas mereka korbankan; sampai pun anak atau nyawa sendiri.
Inti Berkurban
Jadi inti makna kurban di Hari
Raya Kurban memang berkorban. Namun, lihatlah, bahkan untuk sekedar mengorbankan
hewan, banyak orang mampu yang masih “menawar-nawar” atau menitipkan
kepentingan sendiri sebagai “kompensasi”
Apakah mereka ini mengira bahwa
kurban (daging ternak) itu benar yang “dituntut” Tuhan sebagai bukti kecintaan
dan kebaktian? Tidak. Sama sekali bukan daging-daging dan darah-darah hewan itu
yang mencapai Allah, melainkan ketakwaan. Pengorbanan. “Tidaklah darah dan
daging hewan kurban itu sampai kepada Allah sebagai ketakwaanmu yang sampai
kepada-Nya” (Al Qur’an22;37).
Pengorbanan tidak hanya
menyembelih kurban. Pengorbanan adalah atau mestinya merupakan pantulan dari
kecintaan dan kebaktian itu. Dari pengorbanan, bisa diukur seberapa dalam
kecintaan dan seberapa agung kebaktian seseorang.
Kita bisa saja mengaku cinta atau
mengabdi kepada pujaan kita. Kita bisa saja menyatakan hal yang mulia demi
Tuhan, demi tanah air, demi rakyat, demi siapa atau apa pun yang kita cintai.
Namun tanpa kesediaan kita berkorban untuknya, pernyataan itu tidak ada
artinya.
Bahkan ,jika kita menawar-nawar
di dalam pengorbanan kita, kata “demi”-“demi” itu hanyalah omong kosong belaka.
Dalam pengorbanan, tak ada perhitungan untuk rugi atau tuntutan kompensasi
apapun. Dalam pengorbanan hanya ada ketulusan.
Hamba yang sungguh mencintai dan
mengabdi kepada Allah seperti Nabi Ibrahim dan putranya, akan siap dan rela
berkorban apa pun, yang paling berharga, atau yang remeh, termasuk ego dan
kepentingan sendiri-bagi dan demi Tuhannya. Demi melaksanakan perintah dan
menjauhi larangan-Nya, hamba yang sungguh mencintai dan mengabdi Tuhannya siap
dan rela mengalahkan egonya dan mengesampingkan kepentingan sendiri.
Apabila Tuhan, misalnya melarang
perbuatan merusak, hamba yang sungguh mencintai dan mengabdi Tuhannya akan
menghindari perbuatan perusak meski bertentangan dengan kehendaknya. Dia
misalnya, tak akan melakukan perbuatan korupsi, tidak melakukan tindakan teror,
tidak berurusan dengan narkoba, dan tindakan merusak lainnya, meski dirinya
merasa berkepentingan untuk melakukan hal itu.
Pemimpin berkorban
Warga negara yang sungguh
mencintai dan mengabdi tanah arinya akan dengan sendirinya siap dan rela
berkorban apa saja bagi dan demi tanah airnya, meski tidak pernah
menyatakannya. Sebaliknya, mereka yang sering menyatakan cinta tanah air,
tetapi tidak sudi mengorbankan sedikit waktu dan pikiran untuk kepentingan
tanah airnya, jelas mereka pembohong besar.
Pemimpn yang selalu menyatakan
diri sebagai abdi rakyat, tetapi tidak pernah rela berkorban meski sekedar
waktu dan perhatian untuk rakyat, bahkan lebih sering mengorbankan rakyat,
cepat atau lambat pasti akan ketahuan palsunya dan rakyat akan mencampakkannya.
Akhirnya, Idul Adha atau Hari
Raya Kurban juga sering disebut Lebaran Haji. Pada Saat itu memang kaum
Muslimin yang mampu sedang melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci.
Satu satunya ibadah dan rukun
Islam yang di negeri ini ditangani secara “serius” oleh pemerintah. Ibadah ini
pun memerlukan pengorbanan yang tidak kecil. Masih di Tanah air, jemaah calon
haji sudah harus mengorbankan waktu, harta, tenaga, pikiran sering kali
juga perasaan.
Dalam ritual haji, kaum Muslimin
diingatkan dengan peragaan diri tentang kehambaan, kesetaraan, dan kefanaan
manusia; bahkan tentang hari kemudian. Dengan demikian, jika itu semua
dihayati, akan atau semestinya dapat menguban sikap dan perilaku mereka. Konon
salah satu tanda haji mabrur, yang pahalanya tiada lain: surga, ialah merubahan
sikap perilaku.
Yang sebelum haji malas
beribadah, misalnya, sesudahnya menjadi rajin. Sebelumnya sangat, sesudahnya
santun. Sebelumnya korup, sesudahnya jujur. Demikian seterusnya. Bukan yang
sebelum dan sesudah haji tetap saja sikap perilakunya atau malahan lebih buruk
lagi.
Wallahualam. Selamat Hari Raya
Kurban, Selamat Lebaran Haji
* Wakil Rais Aam PBNU
=========
NU online
=========
NU online