Selama ini, sejarah tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia lebih banyak diwarnai oleh narasi tentang pejuangan militer. Tokoh-tokoh pejuang yang hadir dalam sejarah nasional Indonesia, lebih banyak didominasi oleh para jendral militer yang mengangkat senjata.
Padahal, dari sekian catatan sejarah tentang perjuangan kemerdekaan, ada senarai kisah para kiai dan santri pesantren yang dengan gigih memperjuangkan kemerdekaan.
Sebagian kisah para pejuang kemerdekaan dari pesantren seolah tersingkirkan dari panggung sejarah Indonesia. Naskah sejarah yang ditulis pada masa Orde Baru, atau pasca peristiwa 1965, bahkan tidak banyak yang menghadirkan sejarah pesantren dalam arus utama perjuangan kemerdekaan bangsa ini.
Tim penulisan sejarah dari Pusat Sejarah ABRI yang dikomando oleh Nugroho Notosusanto (1930-1985) seakan menenggelamkan narasi perjuangan kaum santri dalam membela kemerdekaan. Buku serial sejarah kebangsaan, Sejarah Nasional Indonesia (Seri I-VI), terbitan Direktorat Sejarah dan Tata Nilai Tradisional, Departmen Pendidikan dan Kebudayaan, di bawah komando Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened Pusponegoro, menenggelamkan narasi perjuangan kaum santri. Padahal, ada banyak kiai dan ulama yang dengan gigih menggerakkan santri, memobilisasi massa, mengangkat senjata dan terjun langsung ke medan laga.
Salah satu Kiai yang berjuang dengan ikhlas, adalah Kiai Amin bin Irsyad, atau yang dikenal sebagai Kiai Amin Sepuh, pengasuh pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon. Bersama kiai-kiai pejuang lainnya, Kiai Amin menjadi tonggak perjuangan 10 Nopember 1945 di Surabaya, yang kemudian menjadi monumen sejarah Hari Pahlawan.
Santri Kelana
Kiai Amin bin Irsyad, lahir di Mijahan, Plumbon, Cirebon pada Jum’at 24 Dzulhijjah 1330 H/ 1879 M. Dari catatan silsilah, Kiai Amin masih merupakan keturunan dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunungjati). Dengan demikian, jalur nasab Kiai Amin jelas tersambung sebagai Ahlul Bayt.
Sejak kecil, Amin bin Irsyad sudah menunjukkan bakat sebagai santri kelana. Ia tekun mengaji kepada ayahandanya dalam ilmu-ilmu agama dan kanuragan. Pada waktu itu, ilmu kanuragan menjadi bagian penting dalam bela diri kaum santri, menghadapi jagoan-jagoan lokal dan berjuang melawan penjajah. Selepas mengaji kepada ayahanda, Amin kecil dipondokkan di pesantren Sukasari, Plered, Cirebon, bimbingan Kiai Nasuha. Kemudian, Amin kecil mengaji kepada Kiai Hasan di pesantren Jatisari, Cirebon.
Rupanya, jiwa kelana Amin kecil menjadi penuntun pencarian ilmunya. Ia mengaji ke beberapa pesantren, yakni di Pesantren Kaliwungu Kendal, Pesantren Mangkang Semarang, hingga mengaji di pesantren kawasan Tegal, asuhan Kiai Ubaidillah. Selepas suntuk mengaji di Jawa Barat dan Jawa Tengah, Amin bin Irsyad melanjutkan petualangan keilmuan (rihlah ilmiyyah) menuju kawasan Jawa Timur. Ia mengaji kepada ulama tersohor pada zamannya, yakni Syaikhona Cholil di Bangkalan, Madura. Amin muda juga mengaji kepada Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari di Jombang, selepas merampungkan ngaji di Pesantren Bangkalan. Di Tebu Ireng, Amin muda mengabdi kepada Kiai Hasyim, yang sama-sama belajar di bawah bimbingan Syaichona Cholil.
Petualangan mencari ilmu di Tanah Jawa, tidak membuat Amin muda merasa puas. Ia mengelana hingga ke tanah Hijaz. Di Makkah, Amin muda mengaji kepada Syaikh Mahfudh at-Tirmasi, ulama Nusantara yang terkenal di Tanah Hijaz yang berasal dari Termas, Pacitas, Jawa Timur. Di Makkah, Amin muda mendapatkan kesempatan untuk membantu Syaikh Mahfudh mengajar para santri, yakni mukimin yang berasal dari Nusantara.
Mengabdi di Tanah Cirebon
Ketika ayahanda Kiai Amin masih hidup, pernah berwasiat agar putranya mengaji dan mengabdi kepada Kiai Ismail bin Nawawi di Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon. Sekembali dari Makkah, Kiai Amin kemudian menepati wasiat ayahandanya, dengan mengabdi kepada Kiai Ismail. Di pesantren Babakan, Amin muda dijuluki Santri Pinter, karena keluasan ilmu dan khazanah pesantren yang dikuasainya. Pengalaman bertahun-tahun mengaji di beberapa pesantren di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta tanah Hijaz menjadi pengalaman berharga yang membentuk pribadi serta kedalaman pengetahuan Kiai Amin.
Kiai Ismail bin Nawawi meninggal pada 1916. Kiai Amin didapuk menjadi penerus Kiai Ismail untuk mengasuh santri-santri di Pesantren Babakan. Kiai Amin bin Irsyad kemudian dijuluki sebagai Kiai Amin Sepuh, karena jalur silsilah keluarganya yang tersambung hingga Kiai Jatira dari Mijahan, yang mendirikan pesantren Babakan pada masa awal.
Kiai Pejuang
Kiai Amin sepuh mengobarkan semangat juang kepada santri-santrinya. Beliau menjadi barisan Kiai, yang mendukung perlawanan kaum santri dan pemuda pada 10 Nopember 1945 di Surabaya. Kiai Amin berangkat ke Surabaya bersama Kiai Abbas Buntet (1879-1946), Kiai Bisri Musthofa (1914-1977), Kiai Wahab Chasbullah (1888-1971), Kiai Bisri Syansuri (1886-1980) dan beberapa kiai lain, untuk membantu para santri melawan penjajah. Semangat berkobar para Kiai, setelah Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari menggemakan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Kiai Amin bersama beberapa santri, melakukan perjalanan darat dengan kereta api menuju Leteh, Rembang, Jawa Tengah. Bersama rombongan, Kiai Amin bertemu dengan Kiai Bisri Musthofa untuk menyusun strategi menuju Surabaya. Kiai Amin merupakan salah satu Kiai yang ditunggu oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’arie, sebelum menetapkan tanggal pasti penyerbuan santri untuk mengobarkan perang terhadap pasukan NICA di Surabaya. Ilmu kanuragan yang dimiliki para Kiai digabung dengan keahlian bela diri, strategi perang, dan semangat juang santri menjadi modal utama para pemuda melawan penjajah Belanda pada masa awal kemerdekaan.
Dalam sebuah kisah yang diwartakan Kiai Abdul Mujib Ridlwan, putra KH Ridlwan Abdullah (pencipta lambang jagad NU). Kiai Abdul Mujib mengajukan sebuah pertanyaan dalam sebuah majelis. “Kenapa perlawanan rakyat Surabaya itu terjadi pada 10 Nopember 1945?. Kenapa tidak sehari atau dua hari sebelumnya, padahal pada waktu itu rakyat dan pemuda sudah siap?” tanya Kiai Abdul Mujib.
Karena tidak ada yang bisa menjawab, Kiai Abdul Mujib mengisahkan: “Pada saat itu, Kiai Hasyim Asy’arie belum mengizinkan kepada para santri melakukan pertempuran. Mengapa tidak diizinkan? Karena pada waktu itu, Kiai Hasyim Asy’ari menunggu kekasih Allah yang datang dari Cirebon untuk menjaga langit Surabaya. Yakni, Kiai Amin Sepuh Babakan Ciwaringin dan Kiai Abbas Abdul Jamil Pesantren Buntet,” kisah Kiai Abdul Mujib, sebagaimana ditulis Majalahlangitan.com (11/3/2015).
Pada saat mendengar pasukan Inggris akan mendarat di Surabaya, Kiai Amin menggelar rapat dengan kiai-kiai lain di kawasan Cirebon. Pertemuan ini diselenggarakan di kawasan Mijahan, Plumbon, Cirebon. Di antaranya kiai-kiai yang hadir, yakni Kiai Abbas Abdul Jamil Buntet, KH. Anshory Plered, Kiai Fathoni dan beberapa ulama lain. Pada pertemuan ini, dibahas beberapa point penting tentang posisi pesantren menghadapi penjajah dan strategi barisan santri pada masa awal kemerdekaan.
Pertemuan ini, berhasil membuat kesepakatan di antaranya majelis kiai, bahwa pesantren harus terlibat dalam perjuangan kemerdekaan. Selepas pertemuan ini, ditindaklanjuti dengan pengiriman laskar santri ke Surabaya untuk menghadang 6000 pasukan Brigade 49, Divisi 23. Pasukan NICA ini dipimpin oleh Brigadir Jendral AWS Mallaby.
Kiai Amin menjadi pejuang yang menggerakkan santri membela bangsa Indonesia melawan penjajah. Kiai Amin tidak tinggal diam di pesantren, namun terjun langsung untuk mengonsolidasi jaringan santri melawan penjajah di barisan depan.
Akibatnya, ketika Agresi Militer Belanda II, pada 1952, pesantren Babakan diserang Belanda. Bangunan pesantren Babakan dibumihanguskan oleh pasukan Belanda, hingga naskah-naskah penting dan kitab-kitab dibakar. Pada masa itu, perjuangan fisik untuk melawan penjajah Belanda masih dalam situasi mencekam. Baru pada 2 tahun kemudian, pada 1954, Kiai Sanusi—murid Kiai Amin Sepuh—kembali dari pengungsian. Kiai Sanusi mulai menata kembali bangunan pondok yang terbakar dan hancur berantakan. Pada 1955, setelah situasi kondusif, Kiai Amin Sepuh kembali ke pesantren Babakan.
Di bawah bimbingan Kiai Amin Sepuh, Pesantren Babakan menjadi rujukan para santri untuk belajar khazanah pengetahuan Islam. Santri-santri yang mengaji dan tabarrukan dengan Kiai Amin memenuhi pesantren, hingga dikenal sebagai salah satu pesantren besar di Jawa Barat. Beberapa santri Kiai Amin Sepuh, juga menjadi pengasuh pesantren di daerah masing-masing. Di antaranya: Kang Ayip Muh (Cirebon), KH. Syakur Yasin, KH. Abdullah Abbas (Buntet), KH. Syukron Makmun, KH. Amin Halim, KH. Mukhlas, KH. Syarif Hud Yahya dan beberapa santri senior lainnya.
Kiai Amin wafat pada 20 Mei 1972/16 Rabi’ul Akhir 1392H, yang disusul oleh Kiai Sanusi pada 1974. Kepemimpinan di pesantren Babakan Ciwaringin dilanjutkan oleh Kiai Fathoni Amin.
Kiai Amin sepuh menjadi bagian penting dari sejarah perjuangan ulama pesantren dalam mengawal NKRI. Kiai Amin juga menjadi khazanah Islam Nusantara, yang menautkan jejaring keilmuan antar pesantren, dari kawasan Nusantara hingga Hijaz di Timur Tengah. Sudah selayaknya, perjuangan Kiai Amin dan para kiai lainnya dalam membela bangsa dari penjajahan, mendapatkan pengakuan dalam narasi sejarah negeri ini[]. (Munawir Aziz)
**Abah | NU Online**
Penulis adalah Wakil Sekretaris LTN PBNU, dan Dewan Redaksi Penerbit Mizan]
Penulis adalah Wakil Sekretaris LTN PBNU, dan Dewan Redaksi Penerbit Mizan]