Oleh Abdurrahman Wahid
--Tiga buah bom meledak dalam waktu yang hampir bersamaan di Denpasar, Bali lebih dari 180 orang menjadi korban termasuk sangat banyak orang yang mati seketika. Jelas ini adalah sebuah bagian mengerikan dari tindakan teror yang selama belasan bulan ini mengetarkan perasaan kita sebagai warga masyarakat. Penulis berkali-kali minta agar pihak keamanan mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menghindarkan terjadinya hal itu. Termasuk mengambil langkah-langkah preventif, antara lain menahan orang-orang yang keluyuran di negeri kita membawa senjata tajam, membuat bom-bom rakitan, memproduksi senjata-senjata yang banyak ragamnya.
Namun pihak keamanan merasa tidak punya bukti-bukti legal yang cukup untuk mengambil tindakan hukum terhadap mereka. Mungkin di sinilah terletak pokok permasalahan yang kita hadapi. Kita masih menganut kebijakan-kebijakan "punitif" dan kurang memberikan perhatian pada tindakan-tindakan "preventif", kalau belum ada bukti legal yang cukup tidak di lakukan penangkapan, ini jelas keliru. Hal itu menyebabkan hilangnya rasa hormat pada aparat negara. Hal lainnya adalah, dalam kehidupan sehari-hari begitu banyak pelanggaran hukum dilakukan oleh aparat keamanan, sehingga mereka pun tidak dapat melakukan tindakan efektif untuk mencegah tindakan teror yang dilakukan orang. Itupun tidak bisa dibenahi oleh sistem politik kita, karena banyak sekali pelanggaran politik dilakukan oleh oknum-oknum pemerintah.
Sikap menutup mata oleh aparat keamanan kita terhadap hal-hal yang tidak benar, juga terjadi dalam praktek kehidupan sehari-hari di masyarakat. Apabila tindakan hukum diambil oleh aparat, banyak pihak lalu melakukan sesuatu untuk "Menetralisir" tindakan itu. Kasus Batalyon Linud (Lintas Udara) angkatan Darat di Binjai, Sumatra Utara, dapat dijadikan contoh, mereka melakukan tindakan "netralisasi" terhadap langkah-langkah hukum, karena para anggota Batalyon itu menyaksikan sendiri bagaimana para perwira AD dan Polri melakukan dukungan (backing) bagi kelompok-kelompok pelaksana perjudian dan pengedar narkoba, tanpa ada tindakan hukum apapun terhadap orang-orang itu.
Masalah yang timbul kemudian, adalah bagaimana mencegah kelompok-kelompok lain untuk mempersiapkan tindakan teror terhadap masyarakat, termasuk warga Asing. Sikap tutup mata itu sudah menjadi demikian luas sehingga tidak ada pihak keamanan yang berani bertindak terhadap kelompok-kelompok seperti itu. Kalaupun ada aparat keamanan yang bersih, dapat dimengerti keengganan mereka melakukan tindakan preventif. Karena itu akan berarti kemungkinan berhadapan dengan atasan atau teman sejawat sendiri. Dalam hal ini berlakulah pepatah "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari". Inilah apa yang terjadi di pulau Bali itu, jadi tidak usah heran jika hal itu terjadi, bahkan yang harus diherankan, mengapakah hal ini baru terjadi sekarang.
Salah satu tanda dari "paralyse" (kelumpuhan) tadi, adalah hubungan sangat baik antara aparat keamanan dengan pihak-pihak teroris dan preman sendiri. Seolah-olah mereka mendapatkan kedudukan terhormat dalam masyarakat, karena kemanapun menutupi ke-premanan mereka. Bahkan ada benggol preman yang berpidato di depan agamawan, seolah-olah dia lepas dari hukum-hukum sebab-akibat. Herankah kita jika orang tidak merasa ada gunanya melakukan tindakan preventif ? Padahal hakikat tindakan moral adalah mencegah dilakukannya langkah-langkah melanggar hukum, dengan terciptanya rasa malu pada diri calon-calon pelanggar kedaulatan hukum.
Kalau orang merasa terjerumus menjadi preman atau teroris, herankah kita jika ada pihak keamanan yang justru takut melawan mereka? bukanya melawan mereka? Apalagi kalau Wakil Presidennya menerima para teroris di kantor dan memperlakukan seolah-olah pahlawan? Bukan kah ini berarti pelecehan yang sangat serius dalam kehidupan bermasyarakat kita, kesalahan sikap ini ditutup-tutupi pula oleh anggapan bahwa Amarika Serikat-lah yang bersekongkol dengan TNI untuk menimbulkan hal-hal di atas guna melaksanakan"rencana jahat dari CIA (Central Inteligence Agency)? "Teori" ini harus diselidiki secara mendalam, namun masing-masing pihak tidak perlu menunggu. Inilah prinsip yang harus dilakukan, tidak perlu harus menunggu hasil penelitian.
Memang harus setelah bertahun-tahun, hal semacam ini baru dapat diketahui sebagai kebijakan baru dibidang keamanan, guna memungkinkan tercapainya ketenangan yang benar-benar tangguh?. Sudah tentu, sebuah kebijakan harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan yang ada, dalam hal ini keperluan akan tindakan-tindakan untuk mencegah terulangnya kejadian seperti di Bali itu. Karenanya tindakan preventif harus diutamakan, guna menghindarkan vakum kekuasaan keamanan terlalu lama. Kebutuhan itu megharuskan kita segera mencapai kesepakatan, mengatasi kekosongan kekuasaan keamanan yang terlalu lama dapat berakibat semakin beraninya pihak-pihak yang melakukan destabilisasi di negeri kita.
Untuk itu di perlukan beberapa tindakan di lakukan secara simultan (bersama-sama). Pertama, harus dilakukan upaya nyata untuk menghentikan KKN oleh birokrasi negara dengan adanya KKN, birokrasi pemerintah tidak akan dapat menjalankan tugas secara adil, jujur dan sesuai dengan undang-undang yang ada begitu juga, persamaan perlakuan bagi semua warga negara di muka undang-undang tidak akan dapat terlaksana jika KKN masih ada. Dengan demikian, menciptakan kebersihan di lingkungan sipil dan militer merupakan persyaratan utama bagi penegak demokrasi di negeri kita.
Syarat ketiga yang tidak kalah penting adalah kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan kenyataan yang ada. Kita tidak dapat membuat istana di awang-awang, melainkan atas kenyataan yang ada di bumi Indoesia karena itulah, dalam sebuah surat kepada mantan Presiden HM. Soeharto penulis mengatakan bahwa kita harus siap untuk memanfatkan para konglomerat yang tidak mengembalikan pinjaman mereka Bank-bank pemerintah, dalam masalah perdata asalkan uang hasil pinjaman itu di konfrensikan menjadi kredit murah bagi usaha kecil dan menengah (UKM). Soal-soal pidana menjadi tanggung jawab aparat hukum yang ada, dan tidak pantas dicampuri baik oleh pihak eksekutif maupun legeslatif, resep ini memang terasa terlalu sumir dan elitis, tetapi memberikan harapan cukup untuk tetap menciptakan keamanan dan dalam menopang kebangkitan kembali ekonomi nasional kita. Sebagai usulan, ia merupakan sesuatu yang menarik, bukan?
||NU Online||